Senin, 18 Juni 2012

keindahan malam Lailatul Qadar


Makna Malam Lailatul Qadar
Buya Hamka Berkisah tentang Malam Seribu Bulan
“Sesungguhnya suasana ‘Lailatul Qadar’ pun ada di luar Lailatul Qadar. Yakni berupa anugerah Ilahi kepada hamba-Nya. Siapa yang menginginkannya, latihlah diri, pelajari kehidupan orang-orang shalih yang dapat dijadikan teladan, dan amalkan petunjuk-petunjuk yang diajarkan Nabi SAW.
Dalam masa kecilnya di Maninjau, Sumatera Barat, pada tahun 1910-an, Abdul Malik, nama kecil Buya Hamka, menghabiskan waktu malam-malam Ramadhan-nya di surau. Sebab menjadi adat turun-temurun di kampung Minangkabau bahwa anak laki-laki tidak boleh tidur di rumah. Mesti tidur di surau atau di langgar semua.
Kenangan indah itu dimulai dengan berbuka bersama orang-orang tua. Yang tua-tua berjamaah mengerjakan shalat Tarawih, dan anak-anak bertadarus, membaca Al-Quran secara bergilir, melingkar. Pukul satu malam baru mereka pulang ke rumah untuk membangunkan ibu dan nenek buat bertanak parak-siang [sahur].
Menunggu santap sahur, Abdul Malik dapat tidur sejenak. Setelah makan sahur tersedia, barulah dia dibangunkan. Dengan mata mengantuk dia makan sahur. Kadang-kadang baru saja selesai makan, kawan-kawan telah memanggilnya untuk pergi ke surau lagi.
Abdul Malik biasanya tidak tidur lagi sampai subuh. Dan sesudah shalat subuh baru dia tidur lagi, di surau itu juga. Setelah marahari tampak ketinggian, dia baru pulang untuk menolong ibu. Sore hari dia bermain layang-layang. Setelah senja, baru pulang buat berbuka. Demikian Hamka mencatat kehidupan bulan Ramadhan pada masa kecilnya dalam sebuah tulisan berjudul " Lailatul Qadar" , yang kini termuat di buku Renungan Tasawuf.
Namun yang paling menarik, malam dua puluh tujuh lebih ramai dari yang biasa. Sejak habis berbuka sampai siang, di halaman surau, dia bersama teman sebayanya membakar tempurung kelapa. Di dinding surau dipasangi damar-damar [lampu minyak tanah]. Orang-orang tua pun tetap di surau, bersembahyang Tarawih , berdzikir, bermenung menghadapi mihrab.
Engku Lebai, guru ngajinya, menceritakan, malam dua puluh tujuh itulah malam Lailatul Qadar. “Pada malam itu malaikat-malaikat turun dari langit, dipimpin oleh Malaikat Jibril sendiri,” tuturnya.
Waktu itu sujudlah segala umat semesta: kayu-kayuan, rumah-rumah, gunung-gunung. Bahkan air pun berhenti mengalir. Seluruh dunia diliputi cahaya lain dari cahaya pelita, lain dari cahaya bulan, lain dari cahaya matahari. Pintu langit terbuka. Dan ketika pintu langit terbuka, orang yang dikehendari Allah akan makbul doanya. Melihatlah dia dan tahulah dia bahwa saat itu telah datang. Pada waktu itu sebaiknya dia mengemukakan doa pada Tuhan. Apa saja yang diminta akan dikabulkan oleh Tuhan.
Si Saleh Sanok; seorang anak bertanya kepada Engku Lebai,”bolehkah kita meminta sepeda?” [Dia bergelar si Salel Sanok, karena dia pernah muntah-muntah disebabkan terlalu banyak makan sanok; kolak].
Engku Lebai menjawab dengan suara yakin,”Lebih dari sepeda yang diminta akan diberi oleh Tuhan.”
“Pada saat itu juga?” Tanya seorang anak lain.
“Pada saat itu juga!” Jawab Engku Lebai dengan yakin. “Tetapi jarang sekali orang mendapatkannya.” Katanya selanjutnya,” Kadang-kadang sepuluh orang yang menunggu di satu tempat, hanya seorang yang mendapatkannya, sedangkan yang sepuluh tertidur disebabkan sangat mengantuk.”
Makna Lailatul Qadar – Malam-malam Penuh Berkah
Berpuluh tahun berlalu, karena cerita Engku Lebai, atau karena hal lain, Buya Hamka, yang sudah memiliki segudang ilmu pengetahuan agama, tidak juga mendapatkan malam Lailatul Qadar itu. Dia tidak melihat langit terbuka, air berhenti mengalir, dan kayu-kayu sujud ke bumi, apalagi rumah.
Hamka baru tahu kemudian bahwa Lailatul Qadar ialah malam Lailatul Mubarakatin [Malam-malam penuh berkah]. Malam yang diberkati dan malam yang diperingati. Karena pada malam itulah mulanya turun Al-Quran ke dunia ini dalam Gua Hira, disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad SAW.
Nilai ibadah pada malam itu sama dengan ibadah seribu bulan. Sebab edaran siang atau malam tidaklah diukur dengan panjang-pendeknya hari, tetapi dinilai dengan bekas yang ditinggalkannya. Kadang seribu bulan telah dilampaui, artinya lebih 90 tahun, tetapi kosong tidak ada isinya, tidak ada yang penting di dalamnya. Terkadang hanya satu malam, lima ayat dari surah Al-‘Alaq, atau iqra’ turun, seribu nilainya. Sesudah itu turun lagi, turun lagi. Dalam masa 23 tahun, berjumlah 6.236 ayat. Sub-hanallah, banyak nilai-nilainya!
Hadits-hadits tentang Lailatul Qadar telah kita baca. Di dalam kitab Fathul Bari karya Al-Hafizh Ibny Hajar Al-Asqolani, dan kitab Nailul Authar, karya Imam Syaukani, diterangkan, tidak kurang dari 45 ulama meriwayatkan Lailatul Qadar. Sejak dari malam 1 Ramadhan sampai akhir Ramadhan, ada saja keterangan-keterangan ulama tentang waktu waktu Lailatul Qadar. Tidak ada malam yang kosong. Al-Quran sendiri mengistimewakan sepuluh malam yang akhir, malam likuran kata orang Jawa. Imam Suyuthi, dikuatkan oleh Syaikh Ahmad Khudari, mengatakan malam itu adalah 17 Ramadhan. Namun menurut Imam Syafi’I, 27 Ramadhan.




Menurut Buya Hamka, walaupun manusia telah mendapatkan anugerah dari Allah SWT banyak sekali, belum tentu mereka mendapatkan hidayah-Nya. Karena itulah, bisa jadi seseorang akan mendapatkan pahala senilai Lailatul Qadar tidak dalam bulan Ramadhan, sebab Allah telah memberikannya dalam bentuk anugerah dan hidayah. Sebuah cerita menunjukkan hal itu.
Di Bukti Tinggi kira-kira 1880 seorang pemuda parewa [preman] dikejar-kejar orang kira-kira pukul 3 dini hari. Dia menyembunyikan diri di pekarangan di sebuah surau. Setelah dicari-cari tidak ketemu. Yang mengejar lalu pergi, namun dia terus bersembunyi sampai datang waktu subuh. Terdengar adzan subuh. Setiap kalimat adzan itu, laksana dituangkan ke seluruh jiwa raganya. Telah datang kepadanya saat yang nilainya lebih dari seribu bulan.
Mulai saat itu berubahlah hidupnya. Kepada ayahnya dia meminta diantar ke Makkah. Beberapa tahun dia di Makkah, dia pun pulang menjadi ulama besar. Itulah [almarhum] Syaikh Muhammad Jamil Jambek.
Buya Hamka menyimpulkan, kita dapat merasakan suasana Lailatul Qadar di bulan Ramadhan ataupun di luar Ramadhan. Al-Quran telah menunjukkan hal itu.
Coba kita perhatikan tentang Lailataul Qadar di QS Al-Qadar [87]:4, “Turun malaikat dan ruh padanya, dengan izin Tuhan mereka membawa dari tiap-tiap perintah.”
Menurut tafsir Buya Hamka, artinya membawa bingkisan dan nikmat ruhani untuk siapa yang Dia kehendaki, dan membagi-bagikannya.
Kemudian perhatikan lagi QS Fushilat [Ha-Mim Sajdah] [41]:30, “Sesungguhnya orang-orang yang berkata,’Tuhan kami adalah Allah’, kemudian tegak lurus dengan pendiriannya itu, akan turun kepada mereka malaikat [menyampaikan kata-kata],’ janganlah kamu takut dan janganlah kamu berduka cita, dan terimalah berita gembira, yaitu surga, yang telah dijanjikan untukmu’.”
Ayat ini jadi penunjuk bahwa suasana “Lailatul Qadar” pun ada di luar Lailatul Qadar. Suasana itu adalah anugerah Ilahi kepada hambaNya. Yang utama bagi kita sebagai hamba adalah berusaha menangkap suasana itu. Siapa yang ingin belut pasanglah lukah di rawa, siapa yang ingin air, pergilah ke sumur, jangan ke padang belantara. Siapa yang ingin suasana Lailatul Qadar, atau suasana Tajalli [ tersingkapnya rahasia], latihlah diri, pelajari kehidupan orang-orang shalih yang dapat dijadikan teladan, dan amalkan petunjuk-petunjuk yang diajarkan Nabi SAW.
Ramaikan masjid dan i’tikaf di sana, dzikir dan bermunajat di sana. Sekali-kali pergilah ke kubur, melihat orang-orang yang telah “pulang”. Sepinya kuburan meninggalkan suasana pengajaran bagi kita. Atau bangunlah tengah malam, shalat Tahajjud. Duduk di waktu sahur menjelang subuh, mengucapkan istighfar…
Makna Lailatul Qadar – Peristiwa Ruhani
Kembali kepada kisah Engku Lebai di waktu Buya Hamka masih kecil. Apakah saat turunnya Lailatul Qadar seluruh kayu di hutan, gunung-gunung, bahkan rumah-rumah benar-benar bersujud?
Astaghfirullah! Ternyata itu bukan sekedar dongeng Engku Lebai, melainkan benar-benar firman Allah. Cobalah baca QS Al-Hajj [22]:18, “Tidaklah Engku lihat bahwasannya sujud kepadaNya siapa-siapa yang ada di semua langit dan siapa-siapa yang yang ada di bumi, matahari, bulan, bintang-bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, hewan-hewan dan banyak manusia. Namun banyak pula yang pantas menerima azab. Dan barang siapa yang dihinakan oleh Allah, tidak ada siapapun yang dapat memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya.”
Keterangan lain terdapat pula di surah Ar-Ra’ad [13]:16, An-Nahl [16]:49, dan Ar-Rahman [55]: 6. Kalau begitu apakah Engku Lebai telah menyaksikan Lailatul Qadar itu? Buya Hamka kemudian menjawabnya sendiri, tidaklah akan mudah hal itu diceritakan, sebab itu adalah peristiwa ruhani. Apalagi jika pengalaman spiritual itu ditujukan kepada insane yang dipesonai hidup kebendaan. Sampai seorang sufi berujar,”Kalau aku katakana apa yang aku alami, aku akan dituduh orang gila!”
Namun ada pula sedikit orang yang telah mengintip Lailatul Qadar itu, di antaranya Imam Asy-Sya’rani, pengarang Naulul Authar. Dia berkata, “Apabila Engku ingin hatimu hidup, yaitu hidup yang tidak ada mati sesudahnya lagi, keluarlah Engku dari menyandarkan harapan kepada makhluk. Matikan hawa dan iradahmu [kemauanmu]. Di waktu itulah Engku mulai akan diberi oleh Allah hidup yang sejati, hidup yang tidak ada maut sesudahnya lagi. Kaya yang tidak ada miskin sesudahnya lagi. Pemberian yang tidak ada terhenti-henti lagi. Lalu diangkatNya nilai Engku dalam hati hamba-hambaNya, sehingga Engku tidak akan hina lagi untuk selama-lamanya.”***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar